“ Itu bid’ah! Ga
ada dari Rasulnya” mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar statement
seperti itu. Memang permasalahan bid’ah ini sangat rawan menjadi bahan
perdebatan alot dikalangan pemuka agama islam (ulama,kyai,ustadz), bahkan tak
jarang perbedaan persfektif-interpretasi
terhadap bida’ah ini menjadi senjata ampuh untuk saling menyerang satu
sama lain bahkan sampai pada kondisi dimana seseorang sampai mengkafirkan orang
lain. Oleh karena itu problematika bid’ah ini menjadi salah satu problematika dalam
islam yang sangat sangat fatal dan harus segera dicarikan solusi yang tepat
untuk mencari titik temu yang dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan
interpretasi yang dapat memecah belah umat ini.
Tidak dapat
dibantahkan bahwa masing-masing argumentasi mempunyai dasar yang jelas, semua berasal
dari hadis nabi Muhammad SAW. Namun,perbedaan interpretasi itulah yang
menyebabkan terjadi kontradiksi di kalangan umat islam.
Dalam
artikel ini saya akan mencoba mengemukakan analisis saya terhadap hadis Nabi
yang menjadi penyebab perdebatan di kalangan umat islam yang menyoal tentang
bida’ah.
A.
Pengertian bid’ah dan klasifikasinya menurut para ulama
Secara etimologi Ibnu Manzhur berkata;”bidah
berasal dari kata badaa’ syaian yang bermakna mengawali penciptaan sesuatu. Makna ini selaras dengan firman Allah SWT.
قُل مَا كُنتُ
بِدعأً مِن الرُسُلِ
"Katakanlah:’ Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para Rasul’
(QS. Al-Ahqaff: 9)
Sedangkan
menurut terminologi syar’i, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan bida’ah tersebut.
1. Menurut Imam Syafi’i, seorang ulama besar dan pendiri madzhan syafii
beliau mengategorikan bida’ah kedalam dua kategori:
a. Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ahyang sesat.
b. Perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela" (Riwayat Imam Baihaqi didalam Manaqib Asy Syafii Juz 1 Halaman 469, Ibnu Hajar Al Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari 13/253, Sayyid Al-Bakri Abu Bakar bin Muhammad Syatha' Addimyatiy didalam I’anah At-Thalibin Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal.97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam,2/52-53,).
2. Imam Ibnu Abdil barr Al Hakim Al Muhaddits Al Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-NamiriAl-Andalusi, seorang ulama besar faqih lagi hafidh yang bermazhab maliki. “Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
3. Imam Nawawi Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Pakar Hadits Besar, Rijalussanad Imam Syafii. "Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zamanRasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imamkaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkarawajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” (Tahdzibul 'Asma wal Lughot 3/20-22) Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”. (Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),
4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Al Hujjatul Islam Amirul Mukminin fii Hadits Ibn Hajar Al-‘Asqalani. hafizh dan faqihbermadzhab Syafi’i. “Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebutbid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari, 4/253).
5. Imam Ibnu Al Arabi Al Hafidh Al Imam Ibnu Al Arabi Al Maliki “Ketahuilah bahwa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan denganapa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. (Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’ Attirmidziy 10/146-147)
6. Imam Ghazali Al Hujjatul Islam Al Imam Ghazali "Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. (Ihya Ulumuddin 1/276).
Dari semua
definisi bid’ah yang dikemukakan oleh para ulama tersebuat dapat kita ambil
kesimpulan bahwa: Bida’ah adalah segala sesuatu yang baru yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi atau para sahabat, namun para ulama menjelaskan bahwa bid’ah
terbagi menjadi 2 bagian: pertama, bidah hasanah/mahmudah (bidah yang
baik), yaitu semua perkara baru dalam maliah ibadah yang terpuji dan tidak menyalahi aturan
syariat islam, seperti shalat tarawih secara berjamaah, pengumpuln mushaf
al-Quran yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Sayyidina Utsman,
tahlilan, maulidan sebagimana yang banyak dilakukan oleh mayoritas ulama di
Indonesia. Kedua, bid’ah saiat/madzmumah (bidah jelek dan tercela), yaitu semua
perbuatan baru dalam amaliyah ibadah yang tidak sesuai dengan hukum syariat
seperti melakukan peribadatan dengan pesta miras, pesta seks dll.
B.
Kajian hadis tentang bidah
Salah satu hadis yang mashur yang menjadi landasan
seseorang mengklaim bahwa semua bid’ah atau segala sesuatu yang baru yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW itu mnyesatkan adalah hadis yang termuat
dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatakan oleh Jabir bin Abdullah.
اما بعد فإن خير
الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Setelah
permulaan maka sebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya
petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruknya perkara adalah yang
diada-adakan dan semua bidah itu mnyesatka.”
Jika
Redaksi terakhir hadis tersebut hanya sampai pada bahwa semua bidah menyesatkan
maka hadis yang terdapat dalam kitan
Sunan An-Nasai dalam kitab shalat ‘iedain sampai pada setiap bida’h menyebabkan
masuk neraka.
وكل بدعة
ضلالة وكل ضلالة فى النار
“Setiap
bid’ah itu menyesatkan dan setiap yang menyesatkan akan masuk neraka”
Namun ini hanya ketika hadis tersebut dipahami secara
leterlek tanpa melakukan interpretasi mendalam dengan mengkaji hadis tersebut
dengan berbagai disiplin ilmu yang sngat berkaitan dengan pemahaman hadis
tersebut.
Pertama,
dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqh. Jika hadis tersebut kita pahami secara
leterlek maka akan terjadi kontradiksi dengan hadis lain yang di sabdakan oleh
Rasulullah SAW, seperti hadis من سن سنة حسنة فله اجره وأجر من عمل بها hadis ini menjelaskan tentang barang siapa
yang berbuat kebaikan, apapun itu dan mengajak orang lain untuk berbuat
kebaikan yang sama maka Allah SWT akan memberikannya pahala ia sendiri dan
pahala orang yang di ajak yang mengerjakannya. Hal ini akan kontradiksi dengan
hadis diatas apabila perbuatan baik yang kita lakukan tidak dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Oleh
karena itu kita perlu mencari titik temu dalam memahami hadis-hadis yang
bertentangan ini. Dalam ilmu ushul fiqh dijelaskan tentang cara menyelesaikan
hadis-hadis yang saling bertentangan (taa’rud al-adillah)sesuai dengan
tipe teks hadis tersebut.
Jika kita analisis kedua hadis tersebut,
hadis pertama redaksinya menggunakan kata kullu, sebagaimana diketahui
bahwasanya suatu kalimat diawali dengan kata kullu maka ia bersifat
umum. Sedangkan pada hadis yang kedua redaksinya menggunakan kata yang
disifati, sebagaimana telah diketauhi bahwa sifat merupakan takhsis (penghususan)
yang berimplikasi menjadikan kalimat tersebut bersifat khusus.
Dalam ilmu ushul fiqh, jika dua nash
(al-Quran atau Hadis) yang kontadiksi yang satu umum yang satu lagi khusus maka
cara menyelesaikan kontradiksi ini adalah dengan cara men-takhsis nash
yang bersifat umum. Sebagaimana syekh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi yang dikenal luas
dengan sebutan syekh Imrithi empunya kitab nadm-al-Imrithi, beliau
menjelaskan dalam kitab Tashil at-Thariqaat
li an-Nadzm al-Waraqaat melalui bait syair.
وخصصوا فى
الثالث الملوم # بذى الخصوص لفظ ذى العموم
Syekh Abdul Hamid menjelaskan dalam kitab Lataaif al-Isyarah yang
menjadi syarh untuk kitab ini dengan redaksi فيخص العام بالخاص ان كان احدهما عاما والاخر خاصا (apabila dari kedua nash yang kontradiksi tersebut, yang satu
bersifat umum dan yang satu lagi bersifat khusus, maka takhsis lah nash yang
bersifat umum dengan yang khusus).
Redaksi hadis pertama adalah كل
بدعة ضلالة sedangkan
yang kedua من سن سنة حسنة, jika
kita mentaksis hadis pertama karena keumumanya dengan hadis kedua, maka
pemahamannya akan menjadi كل
بدعة سيئة ضلالة “setiap
bid’ah yang jelek adalah menyesatkan”. Pemahaman
inilah yang dipegang oleh mayoritas Ulama. Apabila bidah tersebut baik dan
tidak bertentagan dengan al-Quran dan Hadis maka tidak mengapa untuk
dilaksanakan, sebaliknya apabila bid’ah tersebut bertentangan dengan al-Quran
dan Hadis maka wajib untuk dijauhi dan ditinggalkan. Inilah yang dinamakan
dengan metode istinbat hukum dengan cara jamu’ (menyatukan dan mencari titik temu).
Kedua, dengan
pendekatan kaidah ilmu mantiq (logika). Dengan pendekatan ini kita garis bawahi
kata kullu, karena ini yang menjadi sentral dalam permaslahan ini. dalam
ilmu mantiq dikenal ada dua jenis kullu,
pertama, kullu majmu’ yang bermakna sebagian dan yang
kedua, kullu jaami’ yang bermakna seluruh. Sebagaimana imam al-Akhdori
dalam kitab Sulam al-Munauraq membubuhkan
bait.
الكل حكمنا
على المجموع # ككل ذاك ليس ذا وقوع
وحيثما لكل
فرض حكما # فانه كلية قد علما
Penyelesaiannya adalah dengan kita mengidentifikasi jenis kullu yang ada
pada redaksi hadis pertama. Imam Nawawi, seorang ulama yang sangat mashur di
kalangan mazhab imam Syafi’I dalam mensyarahi redaksi kullu bidatin dengan ghaalib al-bida’ atau mayoritas
bid’ah. Karena memang kebanyakan bid’ah itu menyesatkan akan tetapi bukan
berarti semua bid’ah itu menyesatkan. Penjelasan imam Nawawi tersebut memberi isyarat
bahwa kata kullu tersebut adalah kullu majmu’ yang bermakna
sebagian bukan seluruhnya.
Sebenarnya konsep klasifikasi kata kullu ini telah diisyaratkan oleh
al-Quran, seperti dalam firmannya.
وَجَعَلنَا مِنَ المَاء كُلَ شَئٍ
حَيٍ
"Dan kami telah ciptakan dari air itu segala sesuatu
yang hidup”
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa dari Allah menciptakan
segala sesuatu yang hidup, baik itu manusia, hewan, tumbuhan, jin dan malaikat. Sedangkan pada kenyataannya
sebagai mana telah di jelaskan oleh para ulama bahwa jin dan malaikat itu Allah
SWT ciptakan bukan dari air melainkan Allah SWT menciptakan jin dari api dan
malaikat dari cahaya. Dari sini dapat
kita simpulkan bahwa kata kullu disana adalah kullu majmu’ karena
bermakna sebagian.
Berbeda dengan ayat . كُلُّ نَفسٍ
ذَائِقَةُ المَوتِ”setiap
yang bernyawa pasti akan merasakan kematian”. Dalam ayat ini allah menjelaskan ahwa
setiap makhluk baik itu manusia, hewan, jin dan malaikat akan mngalami
kematian, dan ini memang akan terjadi. Tidak ada satupun makhluk yang dapat
luput dari kematian bahkan, malaikat pun juga akan mengalami kematian. Dari sinidapatkita
simpulkan bahwa kullu disana adalah kullu jaami’ yang bermakan
keseluruhan tanpa terkecuali sebagai mana yang dijelaskan oleh imam al-Akhdori.
Dari semua pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa tidak semua bid’ah
itu menyesatkan sebagai mana yang dituduhkan oleh kaum salafi wahabi selama
bid’ah tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Hal ini dikuatkan
dengan perkatan Abu Hamid Al
Ghazali dalam kitab Ihya al-Ulum ad-Din
juz 2 halaman 248, beliau berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di
zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah
yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah
ditetapkan syari'at.
Referensi:
1. kitab Tashil at-Thariqaat
li an-Nadzm al-Waraqaat karya syekh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi
2. kitab Sulam al-Munauraq karya Syekh
Abdurrahman al-Akhdari
3.http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/bidah.single?seemore=y