Mubtada adalah kaidah dalam ilmu nahwu yang paling populer dan paling mendasar, memahami kaidah ini wajib hukumnya bagi orang yang ingin menguasai bahasa arab khususnya ilmu nahwu dengan sempurna. Oleh karena ini itu melalui postingan ini penulis ingin berbagi penjelasan tentang seluk-beluk kaidah mubtada yang di ambil dari beberapa referensi yang menurut penulis sangat koheren untuk dijadikan sumber untuk belajar ilmu nahwu.
Untuk lebih
terperinci penulis akan membagi pembahasan mubtada kedalam bebetapa subpembahasan.
A. Mubtada
a. Definisi
Banyak para nuhat (ulama ahli nahwu)
yang memberikan definisi terhadap kaidah yang satu ini, sehingga mubtada
termasuk salah satu kaidah nahwu yang mempunyai banyak pendefinisian, sebagai
berikut:
1. Menurut Seyekh Daud As-Shonhaji
المبتداء هو الاسم المرفوع العارى عن العوامل اللفظية
2.
Menurut Syekh Aj-Jurjani
المبتداء هو الاسم المجرد عن العوامل اللفظية مسندا اليه، او الصفة الواقعة
بعد الالف الاستفهام،
او حرف النفي الرافعة للظاهر
3.
Menurut Syekh Ibnu Hisyam Al-Anshori
المبتداء هو الاسم المجرد عن العوامل اللفظية للاسناد فى اسم الجنس يشمل
الصريح والمؤول
4. Menurut Agus Shahib Al-Khairani
المبتداء هو اسم مرفوع مجرد عن العوامل اللفظية تبدأ به الجملة الاسمية سوء
كان اسما صريحا
او مؤولا
Dari empat definisi diatas dapat ditarik empat persamaan
yang dapat menjadi konsep dasar dari mubtada, yaitu:
1.
Mubtada itu adalah isim marfu’( termasuk isim yang
beri’rab rafa’)
2.
Tidak dimasuki amil (indikator) yang bersifat lafdi
b. Penjelasan
Mubatada adala isim yang beri’rab rafa’ dan termasuk
anggota dari marfuatil asma , selain dari fail, naib al-fail
dll. Sebagaimana dalam kajian ilmu nahwu semua keadaan i’rab harus beralasan,
dengan kata lain tidak mungkin mubtada ber’irab rafa’ tanpa adatu:
indikator yang
melatar belakanginya yang lajim disebut amil /awaamil, secara garis besar ada dua amil dalam nahwu, yaitu:
1.
Amil maknawi (عامل
معنوي)
ما لا يتلفظ باللسان ولا يدرك بالعين بل بالجنان
فقط
“Ialah amil yang tidak dapat diucapkan maupun dilihat akan tetapi
hanya dapat dirasakan dengan hati”
2.
Amil lafdzi (عامل لفظي)
ما يتلفظ باللسان و يدرك بالعين
“ Ialah amil
yang dapat diucapkan dan dilihat”
Untuk rafa’ mubtada itu sendiri seperti yang telah di jelaskan
bahwa mubtada tidak dimasuki amil yang berbentuk lafdzi melainkan amil yang
berbentuk maknawi, yang menurut ulama ahli nahwu amil maknawi yang merafa’kan
mubtada adalah ibtida ( menjadi peemulaan), sebagaimana imam ibnu malik
dalam kitabnya yang sangat popular dikalangan pesantren dan bahkan menjadi
kurikulum wajib dipesantren-pesantren tradisional , ia berkata :
ورفعوا مبتداء
بالابتداء # كذاك رفع خبر بالمبتداء
Jadi amil yang merafa’kan mubtada sifatnya
kasat mata tidak mampu dilihat dengan panca indra, akan tetapi ta’sir (pengaruh)nya
jelas terlihat.
Untuk bahan baku peembentukan mubtada kita dapat membentuknya dari isim
sharih seperti dalam contoh الحمد لله
atau isim muawwal seperti dalam contoh وان تصوموا خير لكم.
c. Klasifikasi
mubtada
Jika kitak melakukan pengklasifikasifian terhadap
mubtada, maka mubtada daapat diklasifikasikan dari dua sisi, yaitu:
1.
Berdasarkan komponennya, mubatada terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Mubtada isim sharih, adapun yang termasuk isim sharih adalah domir
munfasil, isim alam,isim isyaroh, isim mausul, isim yang dima’rifatkan dengan
alif lam, isim yang diidhafatkan kepada isim ma’rifat seperti contoh الحمد لله
b.
Mubtada muawwal bi as-sharih, yaitu mubtada yang terbuat dari fiil
mudhari yang didahului oleh ان amil nawasib ان ) masdariah ), jika fiil mudhari di dahului oleh
ان amilnawasib maka bias ditakwil menjadi masdar seperti dalam contoh وان تصوموا خير لكم bias di takwil
menjadi صيامكم خير لكم
2.
Berdasarkan mubtadanya, mubtada terbagi menjadi dua,yaitu:
a.
Mubtada lahu khobar, yaitu mubtada yang khobarnya terbuat dari isim
sharih atau isim muawwal bi as-sharih, seperti contoh الحمد لله dan صيامكم خير لكم
b.
Mubtada lahu fail sadda masadda khobar, yaitu mubtada yang
khobarnya berupa fail yang menduduki posisi khobar, hal ini apabila mubtada
terbuat dari isim fail, sifat musabahat yang didahului oleh nafyi atau
istifham, seperti dalam contoh ما عالم زيد، اعالم زيد،ما قتيل زيد
c.
Mubtada lahu naib fail sadda masadda khobar, yaitu mubtada yang
khobarnya berupa naib al-fail yang
menduduki posisi khobar, hal ini apabila mubtada terbuat dari isim maful yang
didahului oleh nafyi atau istifham, seperti dalam contoh ما مضروب زيد، امضروب زيد
d.
Hukum-hukum yang berhubungan dengan mubtada
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mubtada, yaitu:
1.
Mubtada harus berada di permulaan kalimat
2.
Mubtada harus beri’rab rafa’
3.
Isim yang dijadikan mubtada harus berupa isim ma’rifat dan tidak
boleh dari isim nakiroh , seperti perkataan imam ibnu malik dalam kitab alfiyah
ولا يجوز الابتداء بالنكرة # ما لم تفد كعند ريد
نمرة
4.
Mubtada tidak boleh dimasuki amil lafdzi
Keempat syarat tersebut harus terpenuhi agar dapat dikatakan
sebagai mubtada, namun itu hanya merupakan konsep dasar dari mubtada karena
pada kenyataannya banyak terdapat dalam literature bahasa arab yang tidak
sesuai dengan syarat tersebut, sebagaimana berikut:
a.
Mubtada boleh terletak setelah khobar (asal susunannya adalah mubtada-khabar) dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Hukumnya boleh, jika keadaannya sebagai berikut:
a.
Jika memberikan penekanan pada makna kobar, karena itu yang menjadi
maksud pokok, seperti dalam kalimat ممنوع التدخين (dilarang merokok) kata التدخين yang merupakan
mubtada boleh diletakan setelah khobarya hal ini bertujuan untuk memberikan
penekanan pada khobar bahwa meroko itu dilarang.
b.
Jika susunan mubtada dan
khobar didaului oleh huruf nafyi atau istifham, seperti dalam contoh اقائم انت(apakah yang berdiri itu engkau), kata انت yang merupakan mubtada boleh diletakan setelah khobar karena
didahului oleh huruf istifham
c.
Jika khobar berbentuk sibhu jumlah (jar majrur atau dzorof )
sedangkan mubtada terbuat dari isim ma’rifat seperti dalam contoh امام القاضى قائل الحق (didepan hakim ada orang yang berkata benar) kata قائل الحق yang merupakan mubtada boleh
diletakan setelah khobarya karena khobarnya dibentuk dari sibhu jumlah
2.
Hukumnya wajib, jika keadaannya sebagai berikut
a.
Jika khobar berbentuk sibhu jumlah sedangkan mubtada terbuat dari
isim nakirah, seperti dalam contoh عندي دينار (saya mempunyai uang dinar), kata دينار yang merupakan mubtada harus diletakan setelah khobar karena mubtada
terbuat dari isim nakirah.
b.
jika khobar terbuat dari kata yang harus terletak di awal kalimat
seperti isim istifham , dalam contoh متى الامتحان (kapan ujian?), kata الامتحان merupakan mubtada harus
diletakan setelah khobar karena khobarnya terbuat dari kata yang harus
diletakan diawal kalimat.
c.
Jika mutada
menyimpan domir yang kembali pada khobar, seperti dalam contoh على قلوب
اقفالها (kunci hati
terletak pada hati itu sendiri), kata اقفالها merupakan
mubtada harus diletakan setelah khobar
karena mubtada menyimpan domir yang kembali pada khobarnya.
b.
Boleh membuat mubtada
dari isim nakirah
Pada konsep
awal kita tidak boleh membuat mubtada dari isim nakiroh namun pada kenyataannya ada mubtada yang terbuat
dari isim nakiroh dan hal ini pun diperbolehkan dengan beberapa syarat, yang
lajim disebut dengan musawwigat (hal-hal yang membolehkan membuat
mubtada dari isim nakiroh), adapun jumlah musawwighot setiap referensi
memuat dengan jumlah yang berbeda, namun yang saya akan bahas adalah apa yang
syekh ibnu malik katakana dalam kitab alfiyah
وهل فتى فيكم فما خل لنا # ورجل من الكرام عندنا
ورغبة فى الخير خير وعمل # بر يزين وليقس ما لم يقل
Jika bait diatas di
sarikan maka kita dapat membuat mubtada dari
isim nakiroh dengan musawwigot-musawwigot
sebagai berikut
1. Jika isim
nakiroh didahului oleh istifham seperti
contoh هل فتى فيكم
2. Jika isim
nakiroh didahului oleh huruf nafyi seperti contoh ما خل لنا
3. Jika isim
nakiroh disifati seperti dalam contoh رجل من الكرام عندنا
4. Jika isim
nakiroh beramal terhadap kalimat setelahnya, seperti dalam contoh رغبة فى الخير خير
5. Jika isim
nakiroh di idhofatkan pada isim nakiroh ,seperti contoh عمل بر يزين
Selain dari musawwigot diatas sebenarnya masih
banyak musawwigot-musawwisot yang lain, bahkan Agus Shahib Al-khaironidalam
kitab audloh al-manaahij memuat
19 musawwigot, untuk lebih penjelasan lebih lengkapnya silahkan dibaca kitab
tersebut.
c.
Membuang mubtada, khobar atau kedua-duanya
Pada konsep awal mubtaa dan khobar
harus ada pada sebuah kalimat, namun
kitah boleh membuang salah satu dari mubtada atau khobar bahkan kita bias
membuang keduanya.
1.
Membuang mubtada, dengan ketentuan sebagai berikut,
a.
Membuang mubtada
Hukumnya boleh hal ini dalam sebuah pertanyaan, yang mana dengan menjawab khobarnya saja sudah mafhum, seperti dalam contoh كيف زيد؟ دنف asalnya adalah زيد دنف
Hukumnya boleh hal ini dalam sebuah pertanyaan, yang mana dengan menjawab khobarnya saja sudah mafhum, seperti dalam contoh كيف زيد؟ دنف asalnya adalah زيد دنف
2.
Membuang khobar
Hukumnya boleh membuang khobar dengan syarat perkataan dapat dimengerti. Seperti dalam sebuah pertanyaan من عندكما ؟ زيد asalnya عندنا زيد
Hukumnya boleh membuang khobar dengan syarat perkataan dapat dimengerti. Seperti dalam sebuah pertanyaan من عندكما ؟ زيد asalnya عندنا زيد
3. Membuang keduanya,
Hukumnya boleh dengan syarat perkataan dapat dimengerti seperti jawab نعم dari pertanyaan هل انت مسلم؟asalnya نعم انا مسلم
Hukumnya boleh dengan syarat perkataan dapat dimengerti seperti jawab نعم dari pertanyaan هل انت مسلم؟asalnya نعم انا مسلم
Referensi:
1.
Kitab audloh al-masalik
2.
Kitab mutammimah al-jurumiah
3.
Skripsi Husni Gundar (mubtada wa al-khobar fii surat al-a’raf)
4.
Kitab qawaaid al-lugah al-arabiyah
Catatan: untuk pembahasan khobar bisa dilihat
di post berikutnya
0 komentar:
Post a Comment