SEPUTAR BAHASA ARAB

Blog seputar bahasa arab menyajikan konten seputar kajian kebahasa araban baik itu ilmu nahwu,sharaf,balagoh,imla dll.

ILMU NAHWU

ialah ilmu yang mempelajari sintaksis bahasa arab .

ILMU SHARAF

ialah ilmu yang mempelajari morfologi (pembentukan kata) dalam bahasa arab.

ILMU BALAGHAH

ialah ilmu yang mempelajari semantik dalam bahasa arab.

MARI BELAJAR BAHASA ARAB

Belajar bahasa arab itu indah dan menyenangkan.

Saturday, March 25, 2017

PROBLEMATIKA BIDAH





PROBLEMATIKA BID’AH
“ Itu bid’ah! Ga ada dari Rasulnya” mungkin kita sudah tidak asing lagi mendengar statement seperti itu. Memang permasalahan bid’ah ini sangat rawan menjadi bahan perdebatan alot dikalangan pemuka agama islam (ulama,kyai,ustadz), bahkan tak jarang perbedaan persfektif-interpretasi  terhadap bida’ah ini menjadi senjata ampuh untuk saling menyerang satu sama lain bahkan sampai pada kondisi dimana seseorang sampai mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu problematika bid’ah ini menjadi salah satu problematika dalam islam yang sangat sangat fatal dan harus segera dicarikan solusi yang tepat untuk mencari titik temu yang dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan interpretasi yang dapat memecah belah umat ini.
Tidak dapat dibantahkan bahwa masing-masing argumentasi mempunyai dasar yang jelas, semua berasal dari hadis nabi Muhammad SAW. Namun,perbedaan interpretasi itulah yang menyebabkan terjadi kontradiksi di kalangan umat islam.
Dalam artikel ini saya akan mencoba mengemukakan analisis saya terhadap hadis Nabi yang menjadi penyebab perdebatan di kalangan umat islam yang menyoal tentang bida’ah.
A.                Pengertian bid’ah dan klasifikasinya menurut para ulama
            Secara etimologi Ibnu Manzhur berkata;”bidah berasal dari kata badaa’ syaian  yang bermakna mengawali penciptaan sesuatu. Makna ini selaras dengan firman Allah SWT.
قُل مَا كُنتُ بِدعأً مِن الرُسُلِ
"Katakanlah:’ Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para Rasul’ (QS. Al-Ahqaff: 9)
Sedangkan menurut terminologi syar’i, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bida’ah tersebut.
1. Menurut Imam Syafi’i, seorang ulama besar dan pendiri madzhan syafii beliau mengategorikan bida’ah kedalam dua kategori:

a. Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ahyang sesat.

b. Perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela" (Riwayat Imam Baihaqi didalam Manaqib Asy Syafii Juz 1 Halaman 469, Ibnu Hajar Al Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari 13/253, Sayyid Al-Bakri Abu Bakar bin Muhammad Syatha' Addimyatiy didalam I’anah At-Thalibin Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal.97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam,2/52-53,).

2. Imam Ibnu Abdil barr Al Hakim Al Muhaddits Al Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-NamiriAl-Andalusi, seorang ulama besar faqih lagi hafidh yang bermazhab maliki. “Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).

3. Imam Nawawi Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Pakar Hadits Besar, Rijalussanad Imam Syafii. "Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zamanRasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imamkaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkarawajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” (Tahdzibul 'Asma wal Lughot 3/20-22) Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”. (Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),

4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Al Hujjatul Islam Amirul Mukminin fii Hadits Ibn Hajar Al-‘Asqalani. hafizh dan faqihbermadzhab Syafi’i. “Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebutbid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari, 4/253).

5. Imam Ibnu Al Arabi Al Hafidh Al Imam Ibnu Al Arabi Al Maliki “Ketahuilah bahwa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan denganapa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru. (Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’ Attirmidziy 10/146-147)

6. Imam Ghazali Al Hujjatul Islam Al Imam Ghazali "Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. (Ihya Ulumuddin 1/276).
Dari semua definisi bid’ah yang dikemukakan oleh para ulama tersebuat dapat kita ambil kesimpulan bahwa: Bida’ah adalah segala sesuatu yang baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi atau para sahabat, namun para ulama menjelaskan bahwa bid’ah terbagi menjadi 2 bagian: pertama, bidah hasanah/mahmudah (bidah yang baik), yaitu semua perkara baru dalam maliah ibadah  yang terpuji dan tidak menyalahi aturan syariat islam, seperti shalat tarawih secara berjamaah, pengumpuln mushaf al-Quran yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Sayyidina Utsman, tahlilan, maulidan sebagimana yang banyak dilakukan oleh mayoritas ulama di Indonesia. Kedua, bid’ah saiat/madzmumah (bidah jelek dan tercela), yaitu semua perbuatan baru dalam amaliyah ibadah yang tidak sesuai dengan hukum syariat seperti melakukan peribadatan dengan pesta miras, pesta seks dll.

B.                 Kajian hadis tentang bidah
Salah satu hadis yang mashur yang menjadi landasan seseorang mengklaim bahwa semua bid’ah atau segala sesuatu yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW itu mnyesatkan adalah hadis yang termuat dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatakan oleh Jabir bin Abdullah.
اما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Setelah permulaan maka sebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan semua bidah itu mnyesatka.”
Jika Redaksi terakhir hadis tersebut hanya sampai pada bahwa semua bidah menyesatkan maka  hadis yang terdapat dalam kitan Sunan An-Nasai dalam kitab shalat ‘iedain sampai pada setiap bida’h menyebabkan masuk neraka.
وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
“Setiap bid’ah itu menyesatkan dan setiap yang menyesatkan akan masuk neraka”
Namun ini hanya ketika hadis tersebut dipahami secara leterlek tanpa melakukan interpretasi mendalam dengan mengkaji hadis tersebut dengan berbagai disiplin ilmu yang sngat berkaitan dengan pemahaman hadis tersebut.
            Pertama, dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqh.  Jika hadis tersebut kita pahami secara leterlek maka akan terjadi kontradiksi dengan hadis lain yang di sabdakan oleh Rasulullah SAW, seperti hadis من سن سنة حسنة فله اجره وأجر من عمل بها   hadis ini menjelaskan tentang barang siapa yang berbuat kebaikan, apapun itu dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan yang sama maka Allah SWT akan memberikannya pahala ia sendiri dan pahala orang yang di ajak yang mengerjakannya. Hal ini akan kontradiksi dengan hadis diatas apabila perbuatan baik yang kita lakukan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
            Oleh karena itu kita perlu mencari titik temu dalam memahami hadis-hadis yang bertentangan ini. Dalam ilmu ushul fiqh dijelaskan tentang cara menyelesaikan hadis-hadis yang saling bertentangan (taa’rud al-adillah)sesuai dengan tipe teks hadis tersebut.
Jika kita analisis kedua hadis tersebut, hadis pertama redaksinya menggunakan kata kullu, sebagaimana diketahui bahwasanya suatu kalimat diawali dengan kata kullu maka ia bersifat umum. Sedangkan pada hadis yang kedua redaksinya menggunakan kata yang disifati, sebagaimana telah diketauhi bahwa sifat merupakan takhsis (penghususan) yang berimplikasi menjadikan kalimat tersebut bersifat khusus.
Dalam ilmu ushul fiqh, jika dua nash (al-Quran atau Hadis) yang kontadiksi yang satu umum yang satu lagi khusus maka cara menyelesaikan kontradiksi ini adalah dengan cara men-takhsis nash yang bersifat umum. Sebagaimana syekh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi yang dikenal luas dengan sebutan syekh Imrithi empunya kitab nadm-al-Imrithi, beliau menjelaskan  dalam kitab Tashil at-Thariqaat li an-Nadzm al-Waraqaat melalui bait syair.
وخصصوا فى الثالث الملوم # بذى الخصوص لفظ ذى العموم
Syekh Abdul Hamid menjelaskan dalam kitab Lataaif al-Isyarah yang menjadi syarh untuk kitab ini dengan redaksi فيخص العام بالخاص  ان كان احدهما عاما والاخر خاصا (apabila dari kedua nash yang kontradiksi tersebut, yang satu bersifat umum dan yang satu lagi bersifat khusus, maka takhsis lah nash yang bersifat umum dengan yang khusus).
 Redaksi hadis pertama adalah كل بدعة ضلالة sedangkan yang kedua من سن سنة حسنة, jika kita mentaksis hadis pertama karena keumumanya dengan hadis kedua, maka pemahamannya  akan menjadi  كل بدعة سيئة ضلالة “setiap bid’ah yang jelek adalah menyesatkan”. Pemahaman inilah yang dipegang oleh mayoritas Ulama. Apabila bidah tersebut baik dan tidak bertentagan dengan al-Quran dan Hadis maka tidak mengapa untuk dilaksanakan, sebaliknya apabila bid’ah tersebut bertentangan dengan al-Quran dan Hadis maka wajib untuk dijauhi dan ditinggalkan. Inilah yang dinamakan dengan metode istinbat hukum dengan cara jamu’ (menyatukan dan mencari titik temu).
Kedua, dengan pendekatan kaidah ilmu mantiq (logika). Dengan pendekatan ini kita garis bawahi kata kullu, karena ini yang menjadi sentral dalam permaslahan ini. dalam ilmu mantiq dikenal ada dua jenis kullu,  pertama, kullu majmu’ yang bermakna sebagian dan yang kedua, kullu jaami’ yang bermakna seluruh. Sebagaimana imam al-Akhdori dalam kitab Sulam al-Munauraq membubuhkan bait.

الكل حكمنا على المجموع # ككل ذاك ليس ذا وقوع
وحيثما لكل فرض حكما # فانه كلية قد علما
Penyelesaiannya adalah dengan kita mengidentifikasi jenis kullu yang ada pada redaksi hadis pertama. Imam Nawawi, seorang ulama yang sangat mashur di kalangan mazhab imam Syafi’I dalam mensyarahi redaksi kullu bidatin  dengan ghaalib al-bida’ atau mayoritas bid’ah. Karena memang kebanyakan bid’ah itu menyesatkan akan tetapi bukan berarti semua bid’ah itu menyesatkan. Penjelasan imam Nawawi tersebut memberi isyarat bahwa kata kullu tersebut adalah kullu majmu’ yang bermakna sebagian bukan seluruhnya.
Sebenarnya konsep klasifikasi kata kullu ini telah diisyaratkan oleh al-Quran, seperti dalam firmannya.
وَجَعَلنَا مِنَ المَاء كُلَ  شَئٍ حَيٍ
"Dan kami telah ciptakan dari air itu segala sesuatu yang hidup”
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa dari Allah menciptakan segala sesuatu yang hidup, baik itu manusia, hewan, tumbuhan,  jin dan malaikat. Sedangkan pada kenyataannya sebagai mana telah di jelaskan oleh para ulama bahwa jin dan malaikat itu Allah SWT ciptakan bukan dari air melainkan Allah SWT menciptakan jin dari api dan malaikat dari cahaya. Dari  sini dapat kita simpulkan bahwa kata kullu disana adalah kullu majmu’ karena bermakna sebagian.
Berbeda dengan ayat . كُلُّ نَفسٍ ذَائِقَةُ المَوتِ”setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian”. Dalam ayat ini allah menjelaskan ahwa setiap makhluk baik itu manusia, hewan, jin dan malaikat akan mngalami kematian, dan ini memang akan terjadi. Tidak ada satupun makhluk yang dapat luput dari kematian bahkan, malaikat pun juga akan mengalami kematian. Dari sinidapatkita simpulkan bahwa kullu disana adalah kullu jaami’ yang bermakan keseluruhan tanpa terkecuali sebagai mana yang dijelaskan oleh imam al-Akhdori.
Dari semua pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu menyesatkan sebagai mana yang dituduhkan oleh kaum salafi wahabi selama bid’ah tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Hal ini dikuatkan dengan perkatan Abu Hamid Al Ghazali dalam kitab Ihya al-Ulum ad-Din  juz 2 halaman 248, beliau  berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at.

Referensi:
1. kitab Tashil at-Thariqaat li an-Nadzm al-Waraqaat karya syekh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi
2. kitab Sulam al-Munauraq karya Syekh Abdurrahman al-Akhdari
3.http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/bidah.single?seemore=y


Thursday, March 23, 2017

USLUB MEMUJI DAN MENGHINA (اسلوب المدح والذم)



USLUB MEMUJI DAN MENGHINA (اسلوب المدح والذم)
Dalam ilmu nahwu dikenal beberapa uslub yang disebut assalibu an-nahwiyah  (الاساليب النحوية) , yang merupakan jamak dari kata اسلوب . Kata اسلوب berarti gaya bahasa dalam bahasa Indonesia   (kamus mutarjim), diantara uslub-uslub yang ada dalam ilmu nahwu adalah uslub istifham ,uslub sarti, uslub tahdir,uslub igra,uslub tanaju, dan uslub madh wa dzam yang akan saya bahas dalam postingan kali ini.
Ulama ahli nahwu membagi uslub madh wa dzam(اسلوب المدح والذم) menjadi 3 bagian,yaitu:
1.      Uslub madh wa dzam dengan menggunakan kata نعم untuk memuji dan  بئسuntuk meghina.
2.      Uslub madh wa dzam dengan menggunakan kata حبذا untuk memuji dan  لا حبذاuntuk menghina.
3.      Uslub madh wa dzam dengan menggunakan wajan fiil tsulasi.

A.    Uslub madh wa dzam dengan menggunakan kata نعم dan  بئس

1.      نعم dan  بئس
Para ulama berbeda pendapat tentang نعم dan  بئسapakahtermasuk fiil atau isim, ulama Bashrah berpendapat bahwa keduanya adalah fiil dengan beralasan keduanya bisa dimasuki oleh ta ta’nis sukun dan merafakan failnya seperti dalam contoh نعمت المرأة فاطمة, ulama kuffah  berpendapat bahwa keduanya adalah isim dengan beralasan keduanya bias dimasuki alif lam seperti dalam contoh , saya sendiri sependapat dengan ulama Bashrah karena hujah mereka kuat dan paling banyak dijadikan referensi oleh ulama lainnya.
2.      Memuji dan menghina menggunakan نعم dan  بئس
a.      Unsur-unsur
Sebelum kita membahas uslub ini lebih rinci saya akan menjelaskan usnsur-unsur yang terdapat dalam uslub ini terlebih dahulu. Unsur-unsur yang terdapat dalam uslub ini adalah sebagai berikut:
a.       نعم dan  بئس, merupakan fiil jamid yang bermakna memuji atau menghina
b.      Isim setelah نعم dan  بئس merupakan fail dari kedua fiil tersebut.
c.       Isim setelah fail نعم dan  بئسdisebut mahsus yang merupakan obkek dari pujian atau hinaan.
d.      Jumlah نعم dan  بئسbeserta fiilnya merupakan khabar yang didahulukan ia berirab rafa secara mahal(kedudukannya)
e.       Mahsus merupakan mubtada yang diakhirkan.



Jika kita buat skema untuk  uslub memuji dan menghina menggunakan نعم dan  بئسmaka gambarannya sebagai berikut:
Mahsus
Fail
نعم dan  بئس
محمد
الرجل
نعم
هند
المراة
بئست
Mubtada yang diakhirkan
Jumlah khabar yang didahulukan

b.      Fail dari نعم dan  بئس
Dalam membuat fail dari نعم dan  بئس bias dengan empat cara,yaitu:
1.      Berupa isim yang dimarifatkan dengan ال, seperti dalam contoh نعم الرجل محمد
2.      Berupa isim nakirah yang diidhafatkan kepada isim yang dima’rifatkan dengan ال seperti dalam contoh نعم مكان الجزاء الجنة
3.      Berupa dhomir mustatir yang dijelaskan oleh tamyiz seperti dalam contoh نعم خلقا الصدق
4.      Berupa isim mausul (من dan  ما) seperti dalam contoh نعم ما يقول العالم,بئس من يقول الكاذب

c.       Hukum-hukum mahsus
Mahsus atau isim yang menjadi objek pujian atau hinaan mempunyai beberapa keadaan dalam kalimat, sebagai berikut:
1.      Mahsus boleh didahulukan dari fiil, seperti dalam contohالصادق نعم الرجل , dalam keadaan seperti ini maka mahsus berkedudukan sebagai mubtada. Ulama nahwu menamai mahsus macam ini dengan mus’ir (مشعر) sebagai mana perkataan ibnu malik dalam magnum opus-nya kitab alfiyah ibnu malik,
وان يقدم مشعر به كفى # كالعلم نعم المقتنى والمكتفى
2.      Mahsus boleh didahuli oleh amil nawasikh, baik ia terletak setelah fiil seperti dalam contoh نعم الرجل كان محمدmaka dalam keadaan seperti ini mahsus berkedudukan sebagai isim كان dan fiil beserta  failnya berkedudukan sebagai khobar كان yang didahulukan, atau ia terletak sebelum fiil dan failnya seperti dalam contoh نعم الرجل كان محمد
3.      Boleh membuang mahsus jika terdapat indicator (qarinah) yang jika mahsus dibuang perkataan dapat dipahami, seperti percakapan 2 orang sahabat yang menceritakan kepintaran sahabatnya Ahmad  نعم الرجل, انه عالم  jika kita perjelas percakapan tersebut maka akan menjadi نعم الرجل احمد, انه عالم  kata Ahmad dalam percakapan tersebut dibuang karena kedua sahabat tersebut telah mafhum dengan yang Ahmad yang diceritakan.




B.     Uslub madh wa dzam dengan menggunakan kata حبذا dan  لا حبذا

1.      حبذا dan  لا حبذا
حبذا merupakan rangakaian dari dua kata, berupa fiilحبyang berarti suka atau cinta danذا isimisyaroh yang berbentuk mufrad mudzakar , sedangankan لا حبذا dengan tambahan  لا nafyi yang menjadikan maknanya menjadi negative.
2.      Unsur-unsur
Seperti pada pembahasan uslub madh wa dzam dengan نعم dan  بئس, حبذا dan  لا حبذا juga mempunyai unsur-unsur yang berbeda dengan sebagai berikut:
a.       حب merupakan fiil madhi jamid (yang tidak di derivasi) .
b.      ذا merupakan fail dari حب.
c.       Isim nakirah setelah ذا berkedudukan sebagai tamyiz yang menjelaskan ذا.
d.      Isim marifat setelah tamyiz berkedudukan sebagai mubtada yang diakhirkan.
e.       Khobar dari mubtada adalah jumlah fiil fail beserta tamyiznya.
Jika kita buat skema untuk  uslub memuji dan menghina menggunakanحبذا dan لا حبذاmaka gambarannya sebagai berikut:
Mahsus
Tamyiz
Fail
Fiil
الجنة
المئوى
ذا
حب
النار
المئوى
ذا
لاحب
Mubtada yang di akhirkan
Jumlah khobar yang didahulukan

3.      Hukum-hukum mahsus
Para ulama nahwu berbeda pendapat tentang penempatan mahsus untuk حبذا dan لا حبذا, Imam Abdul Rahman Al-makudi dalam syarahnya terhadap kitab alfiyah ibnu malik mengatakan bahwa mahsus pada حبذا dan لا حبذاharus berada setelah fiil dan fail, sedangkan A. Sohib Khairani seorang ahli nahwu asal Indonesia dalam bukunya Audlohul manaahij berpendapat bahwa mahsus pada حبذا dan لا حبذا boleh didahulukan seperti dalam contoh الصالح حبذا عبدا, bahkan beliau menambahkan bahwa tamyiz boleh didahulukan dari mumayaznya seperti alam contoh رجلا حبذا الصالح .

C.    Uslub madh wa dzam dengan menggunakan wajan fiil tsulasi
Para ulama juga membolehkan membuat uslub madh wa dzam dengan menggunakan fiil, dengan syarat sebagai berikut:
1.      Fiil harus terbuat dari fiil tsulasi
2.      Berwajan فعُل  (dhamah a’in fiil)
3.      Fiil berbentuk jamid (tidak diderivai)
4.      Adapun amalnya mengikuti amal نعم dan  بئس
Catatan : jika fail fiil tersebut berbentuk mustatir yang kembali kepada tamyiz setelahnnya, maka ada 2 alternatif dalam penulisan fiilnya, sebagai berikut:
1.      Fiil berbentuk mufrad secara mutlak baik failnya berbentuk tasniah, muanast, atau jamak
2.      Fiil menyesuaikan dengan failnya.






loading...