Amaliyah tawasul
selalu menjadi perdebatan yang alot dikalangan kaum modernis islam dan
tradisionalis. Nahdatul Ulama sebagai perwakilan kaum tradisionalis islam
Indonesia adalah kelompok yang sangat giat dalam mengkampanyekan bidah yang
satu ini. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah amaliyah tawasul ini punya
legitimasi valid dalam ajaran islam atau tidak?. Melalui artikel ini saya akan
uraikan beberapa argumentasi valid yang disarikan dari sumber-sumber normatif
islam sebagai legitimasi akan validnya amaliyah tersebut dalam pandangan islam.
Pengertian tawasul
Dalam mendevinisikan makna tawasul atau wasilah banyak terjadi
khilafiyah dikalangan umat islam, perbedaan tersebut dikarenakan kata tersebut
mempunyai makna ijmali (global) dan musytarok (homonim). Namun secara etimologi
kata tawasul atau wasilah berarti al-qurbah (pendekatan diri) misalnya kalimat
tawassala ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) atau kata wasilah juga
diartikan dengan hal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah (lihat
Al-Munawwir, hal. 1559). Dalam kitab An-nihayah, Ibu Atsir mengungkapkan
bahwa kata wasilah berasal dari kata al-wasiil yang artinya orang yang
berharap dan juga kata wasilah bermakna pendekat, perantara dan yang
menyamaikan kepada sesuatu. Dalam kitab Mu’jam maqayis al-lughah, Ibnu
Faris mengartinkannya dengan harapan dan keinginan sedangkan al-wasiil
bermakna berharap kepada Allah SWT.
Secara terminologi ahli sufi mendevinisikan tawasul dengan
melaksanakan hubugan ruhaniyah (interaksi ruhani) antara orang yang sedang
beribadah kepada Allah SWT dengan orang
lain. Sehingga guru-guru pembimbing ruhaniah (mursyid) baik yang masih hidup
ataupun yang sudah mati dalam rangka mengambil jalan untuk sampai (wusul)
kepada Allah bersama dalam rasa dan nuansa dalam pelaksanaan ibadah dan
pengabdian yang sedang dijalani. (Muhammad Lutfi Ghajali, Tawasul Mencaro Allah
Dan Rasul Lewat Jalan Guru, hal 6-7).
Dalam mengklasifikasikan tawasul, Muhammad bin Abdul Wahab sang
pendiri madzhab wahabiyyah membagi tawasul menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Bertawasul
memlalui iman, dengan menggunakan asma-asma Allah, serta melalui amal-amal
shalih.
2.
Bertawasul
melalui amalan-amalan bid’ah, seperti bertawasul dengan keagungan nabi Muhammad
SAW, melalui orang-orang shalih dan sebagainya.
Namun klasifikasi tawasul menurut Muhammad bin Abdul Wahab tersebut
menuai banyak kritikan dikalangan ulama ahlu as-sunah wa al-jamaah karena
menganggap bertawasul dengan nabi Muhammad dan orang-orang shalih adalah bid’ah.
Mereka berargumen bahwasanya bertawasul
dengan nabi Muhammad dan orang-orang shalih telah diisyaratkan oleh Allah dalam
Al-Quran.
Argumentasi bolehnya bertawasul
Sebenarnya terdapat banyak argumentasi yang melegitimasi amaliyah tawasul ini, namun
saya akan uraikan beberapa saja.
A.
Dalil Al-Quran
1.
QS. Al-Maidah: 35
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan”
Mengenai ayat
di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah
dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid,
Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang
lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah
dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu
Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Sedangangkan Ibnu
Hajar Al-Haitami menafsirkann kata “ وَابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ” dengan
“ al-wasilah hiyaa at-tawasul wal istighasah bi insani tuqa” yang artinya
bertawasul dan beristighasah melalui orang orang yang bertaqwa.
2.
QS. Al-Israa: 57
أُولَئِكَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورً
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti”
B.
Hadis Nabi
1. Riwayat al-Thabrani
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam
kitab al-Mu'jam al Kabir dan al-Ausath pada redaksi hadits yang
sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu
Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk
ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan
beliau berdoa:
أَللهُ الَّذِي يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ
لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ
فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Allah yang
menghidupkan dan mematikan. Allah
maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah
hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku.
Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi”. (HR al-Thabrani dan Abu Nuaim dari Anas)
2. Riwayat Ibnu Hibban
عَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ أَنْ يَقُوْلَ
اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَإِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ
وَمُوْسٰى نَجِيِّكَ وَعِيْسٰى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ مُوْسٰى
وَإِنْجِيْلِ عِيْسٰى وَزَبُوْرِ دَاوُدَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صلى الله
عليه وسلم وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
“Rasulullah
mengajarkan doa kepada Abu Bakar
al-Shiddiq: Ya Allah. Saya meminta kepada-Mu dengan Muhammad Nabi-Mu, Ibrahim
kekasih-Mu, Musa yang Engkau selamatkan, Isa kalimat dan yang Engkau tiupkan
ruh-Mu, dan dengan Taurat Musa, Injil Isa, Zabur Dawud dan al-Quran Muhammad.
Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada semuanya….”.
C.
Keterangan ulama
1.
Dalam
kitab al-fatawa al-haditsah halaman 10, ulama ahlu as-sunah wa al-jamaah terkenal
bernama imam Ahmad Syihabudin bin Hajar Al-Haitami menyatakan bahwa istighasah
dan tawasul kepada Rasulullah dan para aulia hukumnya diperbolehkan. Bahkan disepakati
oleh para sahabat, tabiin dan pengikutnya serta mayoritas ulama sunni. Kebolehan
ini tidak terbatas kepada yang masih hidup saja, tetapi juga untuk yang sudah
meninggal. Beliau juga menambahkan bahwa jangan diragukan lagi tawasul dan
istighasah kepada Rasulullah dan aulia sebgai manusia yang paling bertaqwa
kepada Allah SWT. Dalam kitab tersebut beliau juga mengemukakan sebuah riwayat dari
Utsman bin Hunaif tentang seorang kakek tua buta yang meminta nabi Muhammad
untuk memohonkan kepada Allah akan kesembuhan matanya. Kemudian nabi Muhamamd
memerinthkan kakek tua tersebut untuk mengambil wudlu dan shalat dua rakaat
lalu berdoa kepada Allah dengan doa:
اللهم اني
اسئلك واتوجه اليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد اني اتوجه بك الى ربي فى حاجتي
هذه لتقضى
2. Ibnu Taimiyah yang tergolong ulama besar dari kalangan
Wahhabi tidak sepenuhnya melarang tawassul dengan Rasulullah atau dengan
yang lain. Menurutnya, jika tawassul kepada Nabi Muhammad dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan
kecintaan kepadanya maka diperbolehkan. Berikut petikannya:
وإِذَا حُمِّلَ عَلَى هٰذَا الْمَعْنَى
لِكَلَامِ مَنْ تَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ السَّلَفِ كَمَا نُقِلَ عَنْ بَعْضِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَعَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ كَانَ هَذَا
حَسَناً وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ يَكُوْنُ فِي الْمَسْأَلَةِ نِزَاعٌ
“Jika ucapan orang-orang dari kalangan ulama salaf
yang bertawassul kepada Rasullah setelah
beliau wafat diarahkan pada pengertian ini (tawassul karena iman dan cinta pada
Rasulullah) seperti yang dikutip dari sebagian sahabat, Tabiin, Imam Ahmad dan
sebagainya, maka hukumnya bagus dan tidak ada pertentangan”. (al-Tawassul
wa al-Wasilah II/119)
0 komentar:
Post a Comment