Sunday, February 25, 2018

LEGITIMASI TAWASUL PERSFEKTIF ISLAM


 

Amaliyah tawasul selalu menjadi perdebatan yang alot dikalangan kaum modernis islam dan tradisionalis. Nahdatul Ulama sebagai perwakilan kaum tradisionalis islam Indonesia adalah kelompok yang sangat giat dalam mengkampanyekan bidah yang satu ini. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah amaliyah tawasul ini punya legitimasi valid dalam ajaran islam atau tidak?. Melalui artikel ini saya akan uraikan beberapa argumentasi valid yang disarikan dari sumber-sumber normatif islam sebagai legitimasi akan validnya amaliyah tersebut dalam pandangan islam.
Pengertian tawasul
Dalam mendevinisikan makna tawasul atau wasilah banyak terjadi khilafiyah dikalangan umat islam, perbedaan tersebut dikarenakan kata tersebut mempunyai makna ijmali (global) dan musytarok (homonim). Namun secara etimologi kata tawasul atau wasilah berarti al-qurbah (pendekatan diri) misalnya kalimat tawassala ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) atau kata wasilah juga diartikan dengan hal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah (lihat Al-Munawwir, hal. 1559). Dalam kitab An-nihayah, Ibu Atsir mengungkapkan bahwa kata wasilah berasal dari kata al-wasiil yang artinya orang yang berharap dan juga kata wasilah bermakna pendekat, perantara dan yang menyamaikan kepada sesuatu. Dalam kitab Mu’jam maqayis al-lughah, Ibnu Faris mengartinkannya dengan harapan dan keinginan sedangkan al-wasiil bermakna berharap kepada Allah SWT.
Secara terminologi ahli sufi mendevinisikan tawasul dengan melaksanakan hubugan ruhaniyah (interaksi ruhani) antara orang yang sedang beribadah kepada Allah SWT dengan  orang lain. Sehingga guru-guru pembimbing ruhaniah (mursyid) baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati dalam rangka mengambil jalan untuk sampai (wusul) kepada Allah bersama dalam rasa dan nuansa dalam pelaksanaan ibadah dan pengabdian yang sedang dijalani. (Muhammad Lutfi Ghajali, Tawasul Mencaro Allah Dan Rasul Lewat Jalan Guru, hal 6-7).
Dalam mengklasifikasikan tawasul, Muhammad bin Abdul Wahab sang pendiri madzhab wahabiyyah membagi tawasul menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Bertawasul memlalui iman, dengan menggunakan asma-asma Allah, serta melalui amal-amal shalih.
2.      Bertawasul melalui amalan-amalan bid’ah, seperti bertawasul dengan keagungan nabi Muhammad SAW, melalui orang-orang shalih dan sebagainya.
Namun klasifikasi tawasul menurut Muhammad bin Abdul Wahab tersebut menuai banyak kritikan dikalangan ulama ahlu as-sunah wa al-jamaah karena menganggap bertawasul dengan nabi Muhammad dan orang-orang shalih adalah bid’ah. Mereka berargumen bahwasanya  bertawasul dengan nabi Muhammad dan orang-orang shalih telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Quran.
Argumentasi bolehnya bertawasul
Sebenarnya terdapat banyak argumentasi  yang melegitimasi amaliyah tawasul ini, namun saya akan uraikan beberapa saja.
A.    Dalil Al-Quran
1.      QS. Al-Maidah: 35
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Sedangangkan Ibnu Hajar Al-Haitami menafsirkann   kata  وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَdengan “ al-wasilah hiyaa at-tawasul wal istighasah bi insani tuqa” yang artinya bertawasul dan beristighasah melalui orang orang yang bertaqwa.

2.      QS. Al-Israa: 57
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”
B.     Hadis Nabi
1.       Riwayat al-Thabrani
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al Kabir dan al-Ausath pada redaksi hadits yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah  turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan beliau berdoa:
أَللهُ الَّذِي يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi”. (HR al-Thabrani dan Abu Nuaim dari Anas)

2.       Riwayat Ibnu Hibban
عَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ أَنْ يَقُوْلَ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَإِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ وَمُوْسٰى نَجِيِّكَ وَعِيْسٰى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ مُوْسٰى وَإِنْجِيْلِ عِيْسٰى وَزَبُوْرِ دَاوُدَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
“Rasulullah  mengajarkan doa kepada Abu Bakar al-Shiddiq: Ya Allah. Saya meminta kepada-Mu dengan Muhammad Nabi-Mu, Ibrahim kekasih-Mu, Musa yang Engkau selamatkan, Isa kalimat dan yang Engkau tiupkan ruh-Mu, dan dengan Taurat Musa, Injil Isa, Zabur Dawud dan al-Quran Muhammad. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada semuanya….”.

C.    Keterangan ulama
1.      Dalam kitab al-fatawa al-haditsah halaman 10, ulama ahlu as-sunah wa al-jamaah terkenal bernama imam Ahmad Syihabudin bin Hajar Al-Haitami menyatakan bahwa istighasah dan tawasul kepada Rasulullah dan para aulia hukumnya diperbolehkan. Bahkan disepakati oleh para sahabat, tabiin dan pengikutnya serta mayoritas ulama sunni. Kebolehan ini tidak terbatas kepada yang masih hidup saja, tetapi juga untuk yang sudah meninggal. Beliau juga menambahkan bahwa jangan diragukan lagi tawasul dan istighasah kepada Rasulullah dan aulia sebgai manusia yang paling bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam kitab tersebut beliau juga mengemukakan sebuah riwayat dari Utsman bin Hunaif tentang seorang kakek tua buta yang meminta nabi Muhammad untuk memohonkan kepada Allah akan kesembuhan matanya. Kemudian nabi Muhamamd memerinthkan kakek tua tersebut untuk mengambil wudlu dan shalat dua rakaat lalu berdoa kepada Allah dengan doa:
اللهم اني اسئلك واتوجه اليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد اني اتوجه بك الى ربي فى حاجتي هذه لتقضى

2.      Ibnu Taimiyah yang tergolong ulama besar dari kalangan Wahhabi tidak sepenuhnya melarang tawassul dengan Rasulullah atau dengan yang lain. Menurutnya, jika tawassul kepada Nabi Muhammad  dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan kecintaan kepadanya maka diperbolehkan. Berikut petikannya:
وإِذَا حُمِّلَ عَلَى هٰذَا الْمَعْنَى لِكَلَامِ مَنْ تَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ السَّلَفِ كَمَا نُقِلَ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَعَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ كَانَ هَذَا حَسَناً وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ يَكُوْنُ فِي الْمَسْأَلَةِ نِزَاعٌ
“Jika ucapan orang-orang dari kalangan ulama salaf yang bertawassul kepada Rasullah  setelah beliau wafat diarahkan pada pengertian ini (tawassul karena iman dan cinta pada Rasulullah) seperti yang dikutip dari sebagian sahabat, Tabiin, Imam Ahmad dan sebagainya, maka hukumnya bagus dan tidak ada pertentangan”. (al-Tawassul wa al-Wasilah II/119)

0 komentar:

Post a Comment

loading...